Seperti biasa, selalu ada jadwal saya untuk pulang ke Bangka. Mengecek kembali keadaan hotel, menikmati hari – hari tanpa macet dan tentunya kuliner. Ketika saya ada di Bangka, tempat yang SELALU saya datangi adalah pasar lokal. Saya akan bangun pagi – pagi lalu buru – buru ke pasar untuk berburu seafood segar untuk saya bekukan dan bawa bersama saya ke Jakarta.

Pasar Sungailiat adalah sasaran utama saya karena memang paling dekat dengan tempat tinggal saya. Namun kali ini sepertinya saya ingin mencoba pasar Kenanga, sedikit lebih jauh dari tempat saya tinggal. Saran dari ipar, saya harus ke sana jam 6 pagi, supaya masih mendapat ikan segar. Alhasil jam 05.30 alarm saya berbunyi, dan tanpa menunggu saya langsung loncat dari tempat tidur.  Pasar selalu memberi saya semangat untuk bangun. Seperti yang saya sering lakukan ketika masih kecil, Sementara yang lain tidur, saya akan bangun untuk pergi ke pasar bersama mama.

Sampai di pasar Kenanga. Saya celingak celinguk mencari ikan yang saya mau… Hummmm hari ini agak mengecewakan. Ikannya tidak sebanyak yang saya harapkan. Tapi saya tetap membeli 2 kg ikan, sedikit sekali untuk dibawa ke Jakarta. Saya akhirnya keluar dan melihat daerah di depan pasar. Seorang ibu menjual kerang yang saya suka. “Ahhh… paling tidak bisa saya masak di hotel, sekalian mengajar chef dan staff kitchen masakan baru dari kerang“, pikir saya. Setelah membeli, mata saya tertuju ke seorang ibu yang menjual udang tepat di sebelah penjual kerang. “Beli, Bu?” katanya. Saya cuma senyum. Lalu mata saya melirik ke udang yang dijualnya. “Eh… Ternyata, fresh juga!” ada beberapa tumpuk udang dengan ukuran yang berbeda. Mulailah gambar muncul di pikiran saya… Ehm.. Udang kecil bisa buat bakwan udang, udang sedang buat tumisan….. udang besar buat udang bakar. Coba…… tebak…. akhirnya saya memborong udang yang dijual oleh ibu ini. Ibu ini tersenyum karena baru jam 7 pagi dagangan sudah habis. Sebelum saya jalan, ada ibu yang lain yang menyapa : “Ini ibu yang masak itu ya?” “Iya, bu”, jawab saya dengan senyum. Ibu penjual udang pun mulai menyadarinya ”Ohhh iyaaa…”, katanya. Saya senyum dan pamit untuk pulang.

Tapi bukan Desi namanya , kalau tidak mencoba jajanan pasar yang ada. Bodoh amat mau yang  dipinggir jalan, ditengah pasar atau dimana juga. Yang penting harus dicoba. Akhirnya saya membeli beberapa makanan kecil untuk dimakan di hotel. Saya segera kembali ke mobil dan menstarter mobil. Lalu terlihat oleh saya sang ibu penjual udang sedang celingak celinguk seperti mencari seseorang. Jangan – jangan saya yang dicari, atau tadi uangnya kurang yang saya bayar? Mungkin ibunya salah hitung? Saya lalu bertanya, “Ibu, ada apa? Cari saya?” dengan berlari kecil ibu itu datang menghampiri jendela mobil. Ia mengeluarkan uang Rp15.000 dan berkata “Ibu tadi kelebihan bayarnya”. Saya tercengang! Tidak tahu bagaimana harus meresponinya. “Ibu yakin?” Iya! Jawabnya lagi. Saya ucapkan terima kasih dan mengambil uang itu dengan perasaan  senyum bangga.  BANGGA?? YA! BANGGA DENGAN ATTITUDEnya yang luar biasa! Ibu ini sangat KAYA! JIWAnya KAYA. Iya tidak mau dikasihani. Ini attitude pemenang. Ingin rasanya saya memeluk ibu ini, dan mengungkapkan apresiasi saya, tapi kekaguman saya membuat saya membeku. Arrggghhh…..

Pembelajaran yang luar biasa. Miskin itu bukan di kantong. Tapi miskin itu ada di jiwa dan pikiran. Banyak orang kaya tapi miskin jiwa. Banyak juga yang miskin harta dan miskin jiwa. Berbahagialah mereka yang dalam kondisi apapun ekonominya, tapi jiwanya kaya. Ia akan berhasil , karena jiwa itu tidak terbatas kecuali kita yang membatasinya.

Belajarlah dari attitude ibu penjual udang  ini. Orang sederhana yang kaya.