Well… Jangan kira cerita di Nias berhenti begitu saja. Oh ya, sebelum saya lupa… Saya juga begitu tecengang dengan seekor anjing pintar berbulu coklat bernama Fero yang ada di pulau Asu. Tampaknya anjing ini sudah biasa menemani tamu – tamu lokal maupun international di pulau ini. Fero sering memimpin perjalanan kami selama di pulau, yang mengherankan lagi, ketika di depan kami ada persimpangan jalan, ia akan menunggu di sana, memastikan kami tidak mengambil jalan yang salah. Saya pribadi tidak terlalu tertarik dengan anjing, tapi Fero adalah anjing yang berbeda, dan membuat saya menyukainya. Ia sangat bersahabat. Saya masih terbayang tatapan matanya ketika kami akan pulang ke Gunung Sitoli, seolah menghindari perpisahan, ia bersembunyi di balik kapal, enggan mengantar kami ke speed boat. Ga heran, anjing disebut sebagai sahabat manusia yang terbaik.
Well… dari pulau Asu, kami kembali beranjak ke Gunung Sitoli. Saya, suami dan sahabat – sahabat dari Nias segera naik ke mobil panti yang akan membawa kami ke agenda berikutnya. Kami mengunjungi sekolah – sekolah sederhana yang mendidik anak – anak Nias. Alangkah luar biasanya peran seorang guru di desa ini. Pendidikan sangat penting buat bangsa kita. Harusnya pemerintah lebih peduli urusan pendidikan daripada sibuk ngurusin hal – hal yang ga jelas. Well lanjut lagii… Kami juga berhenti di pasar gunung Sitoli dan membeli seafood segar disana, wow… rasanya pengen saya borong dan di bawa ke Jakarta. Ikan tuna yang besar, cumi raksasa, saya juga berbelanja barang – barang keperluan untuk kembali mengajar membuat mie ikan di gunung sitoli.
Ketika saya masuk di mobil, suamiku berkata, ada sejenis lobster tuh di jual oleh bapak sebelah kanan ini, coba deh lihat.., saya ragu – ragu beli karena bentuknya aneh katanya lagi. Saya segera melayangkan mata ke arah penjual “lobster’ itu. Tanpa pikir panjang saya bilang “beli”. sahabat kami dari Jakarta segera turun daai mobil dan membeli “lobster” aneh ini. Saya pikir.. Ntar lah diapain juga bisa. Alhasil setelah selesai mengajar abon ikan, saya segera mengolah “lobster” ini. Sejenis udang laut dalam dengan kulit berwarna merah marun, dan bentuknya jauh dari keindahan. Karena sahabat Nias kami, meminta ijin untuk memasak di sini, sang pemilik memberi ijin untuk saya menggunakan dapurnya yang lumyan sibuk waktu itu. Akhirnya saya diberikan bumbu bakar untuk seafood yang biasa ia gunakan, dan mencampurnya dengan beberapa bumbu tambahan ala saya. Lobster yang dibakar dengan arang batok kelapa menambah kelezatan rasanya yang sempurna, perpaduan lobster dan kepiting . the best seafood i’d ever eaten.
Malam ini, kami akan tidur di panti Asuhan yang dikelolah sahabat Nias kami. Saya terhenyak ketika memasuki tempat ini. Anak – anak Panti Asuhan yang melihat saya berteriak menyambut saya, Ibu Desi.. Ibu Desi. Saya terenyuh. Kasian sekali anak – anak ini. Malamnya saya dan suami tidur di ruang sederhana dengan kasur tipis dan kipas angin. Lampu yang remang – remang membuat saya sulit untuk berkaca. Well mau tidur anyway.. ngapain juga ngaca.. ada – ada aja….! Karena kelelahan, kami tidur dengan nyenyak. Bisa tidur itu berkat dari Tuhan…. banyak yang punya rumah mewah tapi ga sulit tidur…. bener gaaa?? Pagi – pagi mereka sudah bangun, bergantian mandi untuk berdoa dan pergi ke sekolah. Menariknya sebelum ke sekolah, anak – anak ini satu persatu harus lapor kepada bapak panti dan memberi affirmasi bahwa mereka akan menjaga hidup mereka untuk hidup benar dan menjadi berkat buat sekelilingnya.
Kami banyak ngobrol tentang kehidupan saudara Nias kami Senta Leo, saya melihat dedikasinya untuk menjaga anak – anak ini sungguh luar biasa. Pagi ini juga saya akhirnya memutuskan untuk memasak 2 macam masakan dari bahan ikan untuk anak – anak ini. Minimal mereka bisa mencoba masakan “Ibu Desi” yang mereka tonton di TV dan dari boardgame kuliner yang saya kirim buat mereka. Saya ga bisa bayangkan kalau anak – anak kota masuk ke panti asuhan ini, pasti banyak komplain sana – sini daripada memilih untuk bersyukur. Siang ini saya harus pulang ke Medan dan Jakarta dan segera ke Airport.
Wow.. kayaknya cuaca tidak bersahabat… Hujan deras membahasi gunung sitoli. Pesawat yang akan kami naiki tidak bisa mendarat dan kembali ke Medan. Kami menunggu dan menunggu samapi akhirnya pengumumanpun terdengar… Karena cuaca buruk, 2 penerbangan dibatalkan. Saya hanya menarik nafas… bersyukur. Kami kembali menelpon sahabat – sahabat Nias kami, Kami akhirnya kembali ke panti asuhan yang sempat kebanjiran sore itu. Anak – anak tampak senang dan menbujuk kami utk tidak segera pulang ke Jakarta. Kehausan mereka akan kasih orang tua tercermin saat mereka tak henti – hentinya minta dipeluk dan bermain bersama mereka. Akhirnya malam ini, kami isi kembali dengan kuliner dan berburu duren Nias. Durennya empuk, tebal, manis dengan sedikit pahit. Rasanya ga rugi juga belom pulang hari ini. Saya pun menyantap duren dengan semangat. Tidak biasanya saya makan duren sebanyak ini. Tapi asli ini duren enaaaaak sekaliiiiii.
Karena penerbangan yang batal, kami akhirnya diberikan hotel dan supir yang akan menjemput kami kembali ke bandara pagi – pagi buta, tanpa tau kepastian kapan terbangnya. Karena pembatalan pesawat, akhirnya saya harus membatalkan cooking course saya di Interfood. Sampai di Medan, mengurus kembali penerbangan di Jakarta karena tiket yang berbeda, akhirnya mendarat di Jakarta. Macetnya jakarta (welcome back to Jakarta) menambah parah situasi. Saya melihat jam tangan saya yang menunjukan pukul 3 sore… Belum juga nyampe rumah… lelah dan kelaperan. Saya akhirnya juga membatalkan demo masak di main stage di interfood.
Saya belajar, bahwa kita harus bijaksana memakai waktu kita. Penuhi waktu kita dengan (lagi-lagi) syukur. Ternyata masih banyak orang – orang yang kurang beruntung dibandingkan kita. Jangan selalu lihat keatas, lihatlah juga ke bawah. Bersyukurlah selalu, dengan bersyukur kita menyatakan bahwa Tuhan berdaulat atas hidup kita.