Akhir – akhir ini  saya sedang disibukkan dengan beberapa proyek yang menyita waktu saya. Ada meeting di Malaysia, jadwal cooking demo, menjadi pembicara di beberapa tempat, membereskan buku saya yang tertunda terus, membuat resep baru…. Phew…! Saya melihat agenda saya begitu full. Adik ipar saya, bayi dan suami yang datang berkunjung dari Kanada juga menjadi priorotas  saya. Tentunya saya sangat bersemangat untuk mengajak mereka kuliner dan memasak buat mereka. Ini bukan keluhan, tapi memberi gambaran kesibukan beberapa minggu ini yang membuat saya kurang update di jejaring sosial yang ada. Paling – paling update lalu ditinggal kerja lagi…. So sorry ya guys… However, I love my job.

BBM yang tergeletak sekian lama ternyata menampung begitu banyak pesan dari keluarga dan client yang tak terbaca. Akhirnya saya mulai mengecek satu – persatu pesan yang ada hingga terhenti ke satu pesan mengejutkan dari kakak ipar dari Bangka yang memberitakan meninggalnya salah satu anggota keluarga kami di Batam. Akhirnya perjuangannya berhenti setelah 6 bulan perawatan, setelah sebelumnya kehilangan bayinya. Aahhh.. sangat menyedihkan. Saya yang cukup dekat dengan keluarga ini kelimpungan mengecek schedule saya untuk pulang ke Bangka, karena akan dikebumikan di kampung suaminya.  Di tengah schedule yang padat, setelah menyelesaikan tugas saya sebagai pembicara di satu pertemuan siang, saya  memaksakan pulang walaupun saya harus melewatkan acara penguburan. Pesawat yang delay membuat saya sampai  hampir jam 8 malam di rumahnya yang telah sepi dari pengunjung. Memberi pelukan buat suaminya yang sudah saya anggap kakak sendiri, berdoa buatnya, dan sekedar ngobrol berusaha untuk  cheer him up. Di saat yang bersamaan, saya merenung, alangkah rapuhnya hidup manusia. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan berpulang kepada sang pencipta. Mungkin pertanyaannya: apakah kita siap jika saatnya tiba? Dalam dan lewat keadaan apapun? Hanya hati kita yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Jam 10.30 malam, saya dan kakak ipar saya kembali ke rumah. Malam ini saya memutuskan tidur di rumah masa kecil saya, bukan di hotel Novilla. Toh.. besok siang saya sudah harus kembali ke Jakarta. Saya, kakak saya dan kakak ipar saya sangat dekat. Kami menyebut diri kami “3 Diva”. Hahaha..  Setelah ngobrol sampai lewat tengah malam, kami beristirahat karena besok pagi “3 Diva”  ada jadwal ngopi bareng. Kami sudah jarang lakukan karena kesibukan yang menumpuk.

Setelah ngopi, kami kembali ke rumah dan saya siap – siap untuk kembali berangkat ke Jakarta. Maklum, besoknya ada 3 urusan di Jakarta. Mobil hotel menjemput saya di rumah dan untuk berangkat ke bandara.

Tiba – tiba sopir saya berkata, “Isi bensin dulu ya, Bu?”

“Apa? Isi bensin dulu?”

“Kenapa dari kemaren ga diisi full dulu?”  tanya saya sedikit jengkel.

Anda harus mengerti urusan isi bahan bakar di Bangka tidak sama dengan Jakarta. Langkanya bahan bakar membuat kita harus antri minimal 15 menit. Sementara waktu saya pas – pasan.  “Nekat” saya bilang  jalan aja, sambil ngoceh ke sopir dan operational manager saya, bahwa hal kecil begini harus diperhatikan. Bensin ga boleh kurang dari setengah.

Akhirnya kami mendekati bandara setelah deg – degan juga dengan kondisi bensin yang minim. Di luar dugaan, saya melihat antrian panjang di jalan masuk ke bandara. Ternyata saat ini banyak rombongan naik haji berangkat juga. Bandara jadi ramenya luar biasa. Mendadak telpon saya berbunyi, ternyata dari staff maskapai yang bertanya keberadaan saya, pesawat sudah mendarat.

Walah..walaahh……..

“Iyaaa, bentar lagi sampai kok!” jawab saya.

Dag – dig – dug.

Gak lucu kalau sampai ketinggalan pesawat.

Sampai juga, saya segera loncat dari mobil setelah salaman singkat dengan staff saya. Segera checkin setelah satu pasang suami istri di depan saya selesai.

Setelahnya, lagi – lagi antrian untuk masuk ke dalam… Ampuunn daaahh…..

Akhirnya saya masuk ke dalam ruang tunggu dan melihat ada antrian lain untuk masuk ke pesawat. Tapi kok staffnya memakai baju maskapai yang berbeda? Oww…. mungkin bukan pesawat saya. Lalu saya duduk sambil menunggu panggilan.  Tapi… kok sepasang suami istri yang ada di depan saya antri juga? Jangan – jangan..?

“Mbak, ini pesawat A yg ke Jakarta ya?”

“Ya!” jawabnya

Saya segera bangkit dari tempat duduk dan berjalan cepat ke petugas boarding pass. Keluar dari gedung keberangkatan saya  berbelok ke kanan dan tidak menemukan pesawatnya.

Seorang  petugas lalu berteriak “Bu, ke sebelah kiri!”

Aah….. malunyaaa…!

Setengah berlari saya menuju ke pesawat dan baru sadar kalau saya belom menelpon suami untuk menjemput saya karena saya sudah boarding. Saya secepat kilat memencet no telp suamiku saat menaiki tangga pesawat, saya melihat seorang  pramugari yang  sedang menunggu penumpang terakhir masuk.

“Halo….”, suara suamiku terdengar di seberang telpon.

Sembari melewati sang pramugari, saya sengaja mengencangkan suara  saya, “Honey, saya udah boarding  ya, see you soon!

Saya ingin pramugari itu mendengar suara saya, dan berharap dia mengerti untuk tidak perlu memperingatkan saya untuk  mematikan telpon. Males aja. Ekspektasi saya tidak terpenuhi.

Dengan muka jutek si pramugari berkata: “Bu , tolong matikan telponnya.”

Saya merasa darah saya naik ke otak dan spontan membalas jawabannya dengan jutek juga, “Iya, saya tau! Tunggu bentar bisa dong? Susah ya nunggu bentar?” Saya menembakinya lagi dengan ucapan pedes saya.

Ia hanya diam. Saya membalikan badan. Hanya 3 langkah menuju tempat duduk saya, hati saya langsung berbicara dengan keras, “Mengapa kamu harus marah seperti itu?”

Saya diam dan saya langsung sadar, bahwa  saya tidak meresponinya dengan benar!

Padahal saya bisa saja diam dan senyum. Toh itu prosedur yang harus pramugari itu lakukan dengan siapapun tanpa memandang bulu. Aaahhh.. kali ini saya gagal menguasai emosi saya. Tapi saya bersyukur bahwa alarm hati saya bekerja begitu cepat, mengingatkan saya tentang kesalahan – kesalahan yang saya lakukan.

Saya segera mengevaluasi diri lagi, dalam satu sisi tetap belajar menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari. Saya tidak bisa kontrol situasi di depan saya, tapi saya bisa memilih untuk menguasai diri saya. Evaluasi hati setiap hari sembari memegang motto hidupku: hatiku kekuatanku, jadilah kuat tanpa batas.